Sejarah Kesejahteraan Sosial



Sebelum abad 15
Pada masa itu, di dunia bagian barat yakni Eropa sedang mengalami masalah yang luar biasa yakni black death atau wabah hitam. Maut Hitam, disebut juga wabah hitam, adalah suatu pandemi hebat yang pertama kali melanda Eropa pada pertengahan hingga akhirabad ke-14 (1347  1351) dan membunuh sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa. Wabah itu, berakibat banyak korban jiwa dan masalah sosial seperti kemiskinan dan pengangguran yang merajalela. Dari latar belakang inilah mulai ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memulihkan kesejahteraan sosail. Pada mulanya, kegiatan tersebut hanya dilakukan oleh kaum atau kelompok keagamaan saja. Sebagaimana yang dituliskan Canda dan Furman dalam bukunya, Keberagaman Agama dalam Praktek Pekerjaan Sosial (Spiritual Diversity in Social Work Practice: The Heart of Helping), bahwa setiap agama (Budha, Hindu, Islam, Konghucu, Kristen, dan Yahudi) memiliki kepercayaan dan nilai dasar yang berimplikasi pada penerapan atau praktik kerja sosial.
Abad 15-18
Pada kurun waktu ini, kegiatan untuk mensejahterakan sosial muali meningkat dan tidak hanya dilakukan oleh kelompok keagamaan. Peristiwa yang menandai hal tersebut adalah pada tahun 1531, Raja Hendry VIII membuat peraturan Statute of 1536 yaitu peraturan pengawasan terhadap fakir miskin. Selang beberapa tahun kedepan, Ratu Elizabeth mengeluarkan undang-undang (Elizabethan Poor Law) yang sangat populer kala itu. Dengan peraturan atau undang-undang tersebut dapat menjadi cikal bakal campur tangan pemerintah dalam hal penyejahteraan sosial.
Pada awal abad 18, prinsip mengenai humanitarianisme mulai dijalankan. Prinsip atau nilai  humanitarianisme itu sendiri adalah mempercayai kondisi kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Kemudian muncul kelompok-kelompok (relawan) yang mengupayakan pengembangan usaha kesejahteraan sosial untuk memperbaiki kondisi tersebut. Tidak hanya di Inggris, hal serupa juga mulai dilakukan di Amerika. Karena itu, baik di Inggris maupun Amerika, sejarah pekerjaan sosial sangat terkait dengan para relawan dan organisasi para relawan.
Tahun 1869-1877
Pada tahun ini, mulai berdiri sebuah organisasi relawan di Inggris yang bernama COS (Charity Organization Society). Organisasi tersebut bekerja dalam pengumpulan dana sosial darigereja atau lembaga amal yang kemudian dikoordinir untuk disalurkan. Selang de;apan tahun kemudian, organisasi ini berkembang di New York, Amerika Serikat. Bahkan hanya dalam waktu 10 tahun, sudah ada 25 organisasi serupa di Amerika. Dari perkembangan yang pesat ini, kemudian  Mary Richmond, seorang praktisi pekerjaan sosial, berencana untuk mengembangkanSekolah Pelatihan Filantropi Terapan. Lembaga ini menjadi cikal bakal kelas pekerjaan sosial di New York pada tahun 1898. 
Abad 19-20
Istilah “Kesejahteraan Sosial” baru muncil pada awal abad 20, sebagai penghalus istilah karitas. Mulai awal abad 20 pelayanan sosial menjadi pelayanan professional, setelah bagi para pelaksanannya disyaratkan pendidikan khusus, maka munculah profesi pekerjaan sosial, dengan lembaga profesionalnya yang pertama tama adalah school of philanthropy, yang didirikan oleh Charity Organization Society di New York tahun 1896, yang kemudian menjadi School Of Social Work, Columbia University. Sejak saat itu kesejahteraan sosial tidak lagi sebagai gerakan sosial, namun juga telah lahir menjadi sebuah ilmu yang sering disebut ilmu kesejahteraan sosaial.
Perkembangan di Indonesia
Masa Kolonial
Bicara mengenai kesejahteraan sosial di Indonesia, tentu tak lepas dari masa kolonial atau penjajahan oleh Belanda. Pada massa itu, rakyat Indonesia benar-benar merasakan penderitaan atau masalah sosial yang besar. Padahal sebelum masa kolonial, sebenarnya bangsa Indonesia sudah mulai mengenal kesejahteraan sosial. Hal ini ditandai dengan adanya dua kerajaan besar, Majapahit dan Malaka. Selain itu, rakyat Indonesia juga telah mengenal tentang kesejahteraan sosial melalui agama-agama yang berkembang di Indonesia. Dalam agama yang masuk di Indonesia seperti Hindu, Budha, dan Islam tentunya memuat nilai-nilai dasar dalam usaha kesejahteraan sosial. Misalnya dalam ajaran Hindu dan Budha adalah penyelenggaraan Daanam dalam agama Hindu. Daanam sendiri adalah kegiatan memberikan atau konsep yang serupa seperti shramdaan (sumbangan) dan godaan (memberi makan), atau Datria Datriun yang penerimanya disebut Danaputra, kasta terendah dalam Hindu. Selain itu dalam Islam juga dikenal zakat, secara teologis untuk memberi manfaat bagi rakyat miskin dan sebagai “pajak penyucian hati” serta menjadi rukun Islam kelima. Dari ajaran-ajaran tersebut, rakyat Indonesia juga sudah mulai menjalankan praktik sosial yang diwujudkan dengan budaya gotong royong, dan membantu sesama rakyat pribumi.
Masa setelah kemerdekaan
Setelah Indonesia berhasil menjadi sebuah negara yang merdeka, perkembangan mengenai kesejahteraan sosialpun berlanjut. Pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk kementrian sosial yang mempunyi kegiatan  penanggulangan kemiskinan, penanganan bekas romusha dan heiho, rehabilitasi penderita cacat, penanggulangan anak-anak yatim piatu dan orang terlantar. Seiring dengan perkembangannya, kesejahteraan sosial sebagai ilmu juga mulai muncul.
Awal tahun 1960an Departemen Sosial dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan pendidikan Pekerjaan Sosial melalui penugasan belajar pegawai ke luar negeri dan pembukaan sekolah pekerjaan sosial di dalam negeri. Perkembangan itu berlanjut pada cakupan yang lebih luas, yakni pada tahun 1970an berdiri beberapa universitas negeri mendirikan jurusan kesejahteraan sosial seperti UI, UNPAD, UNED (Jember), UNTAN (Pontianak), dan Unib (Bengkulu). Dan universitas swasta UMJ, UNM serta APS Widuri